Bagaimana Kita Memaknai Hidup...???
>> 3.2.10
Bagaimana semestinya kita memaknai Hidup…???
Untuk memulai menjawabnya, saya mengutip sebuah ungkapan Victor Hugo, yaitu, bahwa
“Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah Keyakinan bahwa kita dicintai”.
Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain.
Dalam hidup ini kita tahu,tak ada yang bisa menghentikan Waktu.
Ia adalah hukum Hidup itu sendiri, yang terus maju, yang meniscayakan dinamisasi dan perubahan.
Karena itu, segala bentuk dan rupa materi dalam arus hidup yang semacam ini, sifatnya hanyalah kesementaraan.
Maka seluruh nilai yang digantungkan pada bentuk – bentuk material, seperti, kecantikan, ketampanan, kemewahan, kebaruan dan sebagainya, adalah juga bersifat sementara.
Karena itulah nilai yang semacam ini tidak bisa dijadikan suatu dasar yang kokoh untuk bisa menemukan makna hidup yang lebih utuh.
Sementara umur terus bertambah, manusia pun mengalamin babak – babak baru dalam hidupnya, lalu apa yang bisa dijadikan nilai untuk bisa memberikan arti dan makna yang sungguh – sungguh atas hidup, diluar segala kesementaraan itu..??
Jawaban sederhananya adalah, “Jadilah Manusia yang bermakna bagi orang lain.”
Ada masa dimana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do), Ada saatnya seseorang memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Tapi pada akhirnya, seseorang tetap harus mengalami kegelisahan untuk mencari dan menemukan makna hidup (to be) yang sesungguhnya. Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.
Nah sekarang saya akan membahas ketiga fase atau tahapan yang saya jabarkan tadi,,siap – siap,,okey.
1. Fase Pertama, fase to do,
Biasanya terjadi ketika orang masih produktif, mereka bekerja giat dengan seribu satu alasan.
Pada umumnya mereka adalah orang – orang yang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, walaupun sebenarnya tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan.
Orang dibekap oleh Kesibukan, tapi tidak ada kemajuan.
Hal itu tergambar dalam cerita yang saya sajikan berikut ini,
"Ada orang melihat sebuah sampan ditepi danau, segera ia melompat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak, tapi tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, ternyata sampan masih terikat dengan tali disebuah tiang."
Pada Fase ini, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak,tetapi ternyata tidak produktif.
Joy Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar,
“Banyak Orang mengatakan berbisnis, Tapi tidak ada hasil apapun. Itu bukanlah bisnis.”
Mari kita menengok hidup kita sendiri,
Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa – apa??.
2. Fase Kedua, fase to have
Pada fase ini, orang mulai menghasilkan.
Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja.
Orang terobsesi mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya.
Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan, Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup, lebih –lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani.
Banyak orang masuk dalam fase ini.
Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal, sentra- sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah, telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang, bahkan dunia menawarkan persepsi baru,
“Orang yang sukses adalah orang yang memiliki banyak hal.”
Persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal, entah itu Perkawinan, keluarga, kesehatan maupun spiritual.
Secara Psikiologis, fase ini tidaklah buruk, harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi – prestasi yang dimiliki, namun, persoalan terletak pada pelekatannya.
Orang tidak lagi menjadi Pribadi yang merdeka.
Seorang sahabat yang menjadi Direktur Produksi membeberkan kejujuran dibalik kesuksesannya.
Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk,
“Andai saja meja Kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes disini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian bathin saya, “ujarnya.
Fase ini menjadi pembuktian jati diri kita. Anda perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air Laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus, akhirnya kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.
3. Fase Ketiga, fase to be.
Pada fase yang terakhir ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan tapi juga mulai gelisah mempertanyakan makna. Ditahap ini mereka mulai gelisah dan mempersoalkan apa sesungguhnya yang telah didapatkan dari semua hal yang telah dicapainya.
Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik.
Seorang Dokter berkisah, ia terobsesi menjadi kaya karena di masa kecilnya dulu keluarganya cukup miskin, saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya, ia ingin mensyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa – desa miskin, ia memaknai hidupnya dengan menjadi bermakna bagi orang lain. Ia mengakui sangat menikmati pilihannya itu.
Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna, kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.
Hidup ini seperti Nasi, Nasi akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan.
John Maxwell dalam bukunya “Success to Significant” mengatakan
“Pertanyaan terpenting yang harus diajukan, Bukanlah Apa yang Kuperoleh, tapi Menjadi apakah aku ini..??
Nah, kita pasti tahu Mahatma Gandhi, beliau menjadi contoh konkret pribadi macam ini, sebenarnya ia menjadi seorang pengacara sukses, tapi ia memilih memperjuangkan kehendak seturut nuraninya, ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa di India.
Namun semua ini tergantung dari kemauan dan keyakinan pribadi masing – masing,
Dan menurut kalian, difase manakah kalian berada sekarang..??
Marilah Terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang dan lebih Bermakna.
Untuk hidup “Sukses”. Kita hanya membutuhkan usaha dan sedikit Keberuntungan.
Sementara untuk menggapai Arti hidup yang benar – benar utuh.
Kita memerlukan Karakter dan cara pandang mendasar yang benar atas hidup dan Kehidupan.
Semoga menenangkan dan membantu untuk menjadi pribadi yang kalian inginkan.
By pimpim yg tak selalu bisa.
0 komentar:
Posting Komentar